Selasa, 16 Desember 2008

KAPAN KORUPTOR DIEKSEKUSI MATI?????


EKSEKUSI mati di depan regu tembak memang sudah diterapkan bagi pelaku teroris, pengedar narkoba, pembunuh sadis, perampok bengis. Eksekusi mati juga dijalankan polisi di jalanan, lantaran sudah geregetan dengan ulah penjahat jalanan, perampok nasabah bank, penjahat yang ketangkap basah, residivis kambuhan, teroris bahkan pengedar narkoba pun jadi sasaran tembak.
Bahkan, eksekusi mati secara tidak langsung dilakukan di kantor-kantor polisi setelah penjahat, residivis, bromocorah, preman, gali, korak, setan gundul sampai teroris mengalami penyiksaan tingkat tinggi dengan modus mencari keterangan dan barang bukti. Setelah tak tahan disiksa akhirnya mati, perkaranya pun selesai.
Pendek kata, eksekusi ditegakan bila sudah dianggap meresahkan masyarakat, meresahkan petugas kepolisian lantaran kerjaan makin menumpuk. Lalu bagaimana dengan koruptor, yang notabene juga meresahkan masyarakat plus merugikan perekonomian negara, plus merusak citra republik Indonesia di mata dunia. Jawabnya pasti nanti dulu. Dan bermacam-macam alasan yang kadang tak masuk akal sehat.
Alasan klasik: Dia mantan pejabat tinggi, lah. Dia seorang bangkir, lah. Dia konglomerat, lah. Dia pernah berjasa membuat Undang-Undang Korupsi, lah. Dia memiliki segudang tanda jasa, lah. Dia pengurus Olahraga, lah. Dia warga keturunan, lah. Dia wakil rakyat yang terhormat, lah. Juga, sksekusi mata melanggar HAM, lah. Serta serderat lah, lah, lah lainnya. Jadi eksekusi mati bagi koruptor? ya nanti dulu, lah. Sampai kapan? Wawahualam, lah.
Korupsi, semua orang sudah tahu dan mengakui sebagai kejahatan luar biasa yang dapat menyengsarakan publik. Uang negara dicaplok seenaknya. Tujuan niat jahat itu, jelas untuk memperoleh kekayaan dengan giat, cepat, singkat, pokoknya dapat.
Ada sepuluh faktor yang menyebabkan pejabat negara, bangkir, pengusaha, konglomerat punya nyali untuk korupsi. Bahkan, pejabat, bangkir dan pengusaha tidak takut pada ancaman pidana yang berat, bahkan pidana mati pun dianggap tidak mungkin ada saat melakukan korupsi. Faktor pertama adalah kecemasan akan kesejahteraan masa depan karena melihat realitas sosial yang dihadapi. Kedua, tingginya kebutuhan ketika menjabat satu jabatan juga mahalnya menopang atribut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Ketiga, krisis integritas moral dan spiritualitas.
Keempat, tergoda kekuasaan diskresi alias kekuasaan untuk menggunakan kewenangan
berdasarkan kreativias pejabat yang bersangkutan. Kelima, pejabat tidak melihat langsung akibat perbuatannya sendiri kepada korban atau rakyat. Keenam, iman dan ketaqwaan saat berbuat korupsi hilang karena kalah dengan nafsu keserakahannya.
Ketujuh, tidak mikirin nasib masa depan dan beban psikologis yang menimpa istri, anak, mertua, kakek nenek, keponakan, simpanan, teman selingkuh dan garis keturunannya. Kedelapan, otaknya hanya do it, duit, do it. Kesembilan, pengaruh lingkungan kerja. Kesepuluh, rai gedek dan gak duwe udel, kata orang Suroboyo (mukanya tebal dan gak punya pusar).
Jika kesepuluh faktor ini terakumulasi, maka pejabat, bangkir, konglomerat itu melakukan korupsi dan cenderung tidak takut beratnya sanksi hukum baginya. Dan umumnya sang koruptor tak takut akan adanya hukuman mati, karena memang dianggap selama ini belum ada koruptor yang dihukum mati, dieksekusi mati, ditembak mati sampai disiksa sampai mati pun tak pernah terjadi.
Jadi, apa hukum kita tak mengatur hukuman mati bagi korupsi? Sebenarnya, cantolan hukum pidana mati untuk koruptor, sudah tertuang dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Pasal 2 ayat (2)UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dan, ada sejumlah alasan yang menjadi pertimbangan bahwa pidana mati bisa diterapkan bagi koruptor. Alasan itu adalah yuridis, di mana Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, pidana mati merupakan salah satu jenis hukuman yang masih berlaku dalam sistem peradilan di Indonesia.
Selain itu, pertimbangan hak asasi manusia (HAM), yang secara doktrin menegaskan, terpidana mati dalam delik pembunuhan adalah musuh penegakan HAM karena telah merampas hak hidup orang lain. Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, misalnya. Agar secara remedial HAM itu tetap utuh, harus dikembalikan oleh yang mengambilnya.
Alasan lain adalah masalah moral, kondisi aktual masyarakat, dan persepsi terhadap jenis
kejahatan tertentu. Maksudnya, jika suatu kejahatan dianggap mengancam keamanan nasional, hal itu akan mendorong pemerintah untuk memberikan sanksi yang keras, termasuk hukuman mati.
Karena itu, seharusnya penerapan pidana mati untuk pelaku korupsi bisa dilakukan. Penerapan sanksi pidana yang tajam harus tetap diterapkan secara tegas dan konsisten. Tujuannya untuk memberikan efek jera dan daya tangkal.
Selain itu, undang-undang juga membuktikan pidana mati masih diperlukan dalam menghukum para koruptor yang terbukti di pengadilan. Setiap negara selalu menggunakan pidana mati dalam menghukum kejahatan-kejahatan yang dinilai telah mengganggu keamanan nasional.
Sebagai perbandingan, Cina menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang mengganggu keamanan nasional. koruptor di Cina dihukum dengan sangat keras. pelakunya bisa kena pidana hukuman mati. Ya, mungkin penduduk Cina kan banyak, jika ditembak mati satu pun tak akan rugi. Bagaimana di Indonesia? (endhik)

Tidak ada komentar: