Selasa, 16 Desember 2008

AKAR KORUPSI ITU DI PARPOL


INDONESIA Corruption Watch (ICW) menyatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dimulai dari lembaga legislatif, yang berdasarkan hasil survei nasional maupun internasional merupakan lembaga terkorup.
Pertanyaan kita, karena lembaga legislatif -- tanpa menutup mata terhadap lembaga lain -- diisi oleh para politisi dari Parpol, bukankah lebih tepat kalau akar masalah korupsi yang menghinggapi legislatif ditelusuri dari kenyataan di partai-partai politik itu sendiri?
Wakil rakyat Burhanuddin Napitupulu menyebutkan dewasa ini terdapat 1.728 orang anggota legislatif, mulai DPRD kabupaten/kota, provinsi hingga pusat yang diduga terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu baru 758 orang anggota DPRD yang menjalani pemeriksaan.
Luar biasa. Angka yang disebutkan Burhanudin itu -- yang juga mengutip data ICW terakhir -- jelas sangat besar. Kalau demikian halnya, bukankah akar persoalan sebenarnya memang ada di partai-partai politik? Ada apa dengan kiprah Parpol dan kaderisasi yang dilakukan selama ini?
Kita patut menduga dan berhipotesis, system rekruting kader dan penempatan calon-calon legislative di tubuh partai-partai politik tentulah juga korup, bahkan mungkin sangat korup. Dan ini tentu tak lepas dari kiprah Parpol di tanah air yang cenderung hanya mendekati rakyat lima tahun sekali.
Sistem rekruting dan penempatan calon-calon legislatif itu dapat kita urut mulai dari awal seseorang ingin menjadi caleg. Bukan tidak mungkin, penentuan seseorang jadi caleg selama ini beraroma permainan uang antara di calon dengan pejabat birokrasi partai yang menentukan. Ini, misalnya, bisa dengan sebutan atau istilah macam-macam. Indikasinya, seringnya muncul protes-protes dari kalangan kader partai itu sendiri terkait pencalonan legislative karena selalu saja muncul ada kader-kader yang tidak berkeringat di partai tiba-tiba saja menjadi caleg.
Itu baru dalam tahap pencalegan, belum lagi soal nomor urut, yang -- sebelum munculnya wacana berdasar suara terbanyak -- konon juga memerlukan uang pelicin yang juga diberikan kepada pejabat birokrasi partai.
Setelah itu, baru masuk ke tahap sosialisasi dan kampanye. Berapa rupiah saat ini seorang caleg harus menyediakan uang untuk bisa tampil berkampanye selama beberapa putaran? Dengan menyediakan 10 ribu kaos oblong saja setiap kampanye, bukankah dalam 7-8 kali kampanye seorang caleg harus menyediakan 70 ribu sampai 80 ribu kaos oblong? Dikalikan dengan Rp10 ribu/satu kaos saja, bukankah angka luar biasa? Itu baru untuk biaya kaos, belum yang lainnya semisal transport dan atribut partai.
Dengan tingkat gaji seorang anggota DPR, apalagi hanya DPRD tingkat I dan II, berapa lama uang yang dikeluarkan saat kampanye itu bisa dikembalikan? Bukankah dapat disimpulkan, system yang ada ''memaksa'' setiap anggota legislatif untuk korupsi?
Saatnya semua parpol mengubah system rekruting dan penempatan caleg serta system kampanyenya. Misalnya, semua biaya kampanye harus ditanggung partai, bukan lagi dibebankan pada kader.
Konsekuensinya, Parpol mengenakan iuran kepada kadernya yang duduk di legislatif yang tentu saja dengan jumlah yang sepantasnya sebanding dengan pendapatannya sebagai seorang anggota legislative. Hal ini juga menuntut Parpol harus betul-betul memprioritaskan kadernya yang sudah banyak berjuang.
Sistem kampanye juga harus sudah diubah, tak perlu lagi secara massal sebagaimana selama ini, dan tak kalah pentingnya, iklan di media tak boleh jor-joran. Ini tentu menuntut komitmen dari semua Parpol Persoalannya kemudian, mungkinkah ini bisa dilakukan jika Parpol di negeri ini hanya bekerja dan mendekati rakyat sekali dalam lima tahun? Mungkinkah ini bisa dilakukan apabila eksistensi Parpol tak ada di hati rakyat sebagaimana selama ini? (tbt)

Tidak ada komentar: