Rabu, 24 Desember 2008

BAHAYA LATEN KORUPSI

MEMINJAM teori yang dibangun penasihat Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana, bahwa ada empat episentrum korupsi: Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga.
Teori ini sejalan dengan wacana yang dikembangkan Bapak Reformasi Amien Rais yang mengatakan pemberantasan korupsi harus dimulai dari Istana.
Keempat episentrum korupsi tersebut hingga kini belum terjamah secara memadai oleh proses penegakkan hukum, kendati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun. Padahal di keempat episentrum korupsi tersebutlah sebenarnya wibawa penegak hukum bisa dibangun dan ditegakkan.
Melihat kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja mengangkat Denny Indrayana, boleh jadi sebuah pesan keras kepada para koruptor, yakni upaya penegakkan hukum segera dibidikkan pada empat episentrum korupsi tersebut.
Itulah bahasa tubuh yang bisa dibaca mengingat korupsi di Tanah Air sudah menjadi bahaya laten yang rumit dan melibatkan banyak stake holder bangsa ini. Artinya, korupsi boleh jadi akan menjadi komoditas politik paling mujarab diujung-ujung pemerintahan SBY. Seberapa efektifkah?

Dagelan korupsi

Jika mengamati langkah-langkah berani dan cerdas dari KPK dan Kejaksaan Agung dalam setahun terakhir, paling tidak sudah berhasil menangkap sejumlah pejabat petinggi yang sebelumnya tidak pernah tersentuh.
Di Bank Indonesia saja sudah ada mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Pimpinan BI Surabaya Rusli Simanjuntak, dan Direktur Direktorat Hukum BI Oey Hoey Tiong. Mereka ditahan terkait aliran dana BI ke DPR sebesar Rp100 miliar, menyusul nama-nama besar itu kemungkinan lanjutannya adalah Bun Bunan Hutapea, Aulia Pohan, Anwar Nasution dan lainnya.
Di tubuh Polri, bahkan mantan Kapolri Rusdiharjo juga ditahan dengan tuduhan melakukan pungutan ganda pada WNI saat beliau menjadi Duta Besar RI untuk Malaysia. Di tubuh TNI, ada mantan Mendagri Hari Sabarno yang sedang menjalani proses hukum.
Di Kejaksaan Agung, Jaksa Urip Tri Gunawan malah telah divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakpus. Jauh lebih berat dari penyogoknya Artalyta Suryani yang hanya dikenakan vonis 5 tahun penjara. Vonis ini membuka peluang bagi KPK untuk menghidupkan kembali kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang telah dinyatakan tidak ada unsur yang melanggar pidana korupsi oleh mantan Jam Pidsus Kemas Yahya Rahman.
Di sejumlah BUMN para pucuk pimpinannya sudah mendekam di penjara, seperti mantan Dirut Jamsostek H. Junaidi, mantan dirut Bank Mandiri ECW Neloe, dan lainnya.
Belum lagi sejumlah mantan menteri yang ditahan lantaran dituding korupsi, seperti mantan Menteri Agama Said Agil Munawar, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, mantan Kepala BKPM Theo Toemion, dan lainnya.
Yang paling mencolok memang dagelan korupsi yang melibatkan anggota dewan mulai dari Al Amin Nur Nasution (PPP) dan Sarjan Thaher (Partai Demokrat) dalam kasus alih fungsi hutan di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan. Dalam kasus ini KPK juga tengah intensif memeriksa Ganjar Pranowo (PDIP) dan Sujud Sirajuddin (PAN).
Disamping juga anggota dewan Hamka Yandhu dan Wakil Gubernur Jambi Antony Zeidra Abidin (Partai Golkar), Bulyan Royan (PBR), dan sejumlah nama lain sedang dalam proses.
Termasuk pengakuan politisi PDIP Agus Condro yang menerima dana sebesar Rp500 miliar, dana itu untuk memuluskan Miranda Swaray Goeltom pada pencalonannnya sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Jika kasus ini terkuak paling tidak bisa melibatkan 11 politisi PDIP lainnya yang sejauh ini mereka membantah.

Korupsi BLBI

Masalah BLBI jika dimasukkan dalam empat episentrum gempa sebenarnya masuk dalam episentrum Pengusaha Naga. Karena pada hakikatnya dari dana BLBI sebesar Rp144,54 triliun ada yang genuine sebesar Rp59,70 triliun dan ada yang non genuine sebesar Rp84,84 triliun.
Sejauh ini ada tujuh hasil audit yang menggambarkan bagaimana BLBI dan sejauh mana penyikapan pemerintah dalam 10 tahun terakhir atas hasil audit tersebut. Ketujuh hasil audit itu adalah: BPK, BPKP, Lehman Brothers, KPMG, PWC, CFSB, Bahana dan Danareksa.
Anehnya dalam proses penyelesaian aset (asset settlement) para pejabat yang berwenang waktu itu mengesampingkan hasil audit BPK dan BPKP. Mereka lebih mengacu pada hasil audit lainnya yang nota bene merugikan negara dan menguntungkan para konglomerat.
Begitu juga dalam proses hukum oleh Kejaksaan Agung, dalam prosesnya selalu mengacu pada hasil audit selain BPK dan BPKP. Ada apakah dibalik kebijakan yang pro konglomerat tersebut?
Untung saja meletus kasus aliran dana BI ke DPR sebesar Rp100 miliar dan kasus upaya sogok Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$660 ribu. Ini adalah ekor dari masalah BLBI, boleh jadi jika masalah BLBI ditekuni maka paling tidak akan melibatkan proses hukum atas 100 pejabat BI dan 203 pejabat 48 bank penerima BLBI.
Perjalanan proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK seolah mengarah pada pembenaran hasil audit BPK dan BPKP yang selama 10 tahun ini disimpan rapih di laci-laci kepentingan parpol, kepentingan pelacur hukum dan kepentingan birokrat yang kerap menjual diri.
Kapan ya proses hukum ini akan berlangsung? Atau menunggu korupsi menjadi bahaya laten yang tak pernah diselesaikan?(a)

Tidak ada komentar: