Rabu, 24 Desember 2008

PENGUSAHA WISATA DI SUMBAR DIPUNGLI

PENGUSAHA wisata Sumatera Barat mengeluhkan banyaknya pungutan "abu-abu" alias antara resmi dan tak resmi. "Pungutan tersebut tidak hanya dilakukan pemerintah daerah, tetapi juga institusi kepolisian," kata Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumatera Barat Maulana Yusran, Rabu (23/12).
Maulana mencontohkan, ketika pihak hotel mengurus izin penyelengaraan musik hidup di hotel kepada kepolisian, mereka dipungut sampai Rp 2,5 juta. Pungutan itu setara dengan harga 30 tiket, padahal tiket yang terjual di hotel-hotel di Kota Padang jumlahnya sedikit.
“Padahal dalam ketentuan izin keramaian itu tidak ada biaya. Karena itu kami meminta pungutan seperti ini ada kejelasannya,” katanya.
Contoh lain yang disampaikan Maulana adalah izin minuman beralkohol yang sebenarnya sudah masuk ke dalam layanan standar hotel berbintang. Namun Pemerintah Kota Padang tidak mengeluarkan izin.
“Lucunya meski tidak punya izin, tetapi Pemerintah Kota Padang selalu mengutip pajak minuman beralkohol hotel dari hotel,” katanya.
Karena tidak ada izin inilah ketika polisi merazia sering terjadi perbedaan pandangan dengan pihak hotel, sebab sudah standar internasional hotel berbintang menyediakan minuman beralkohol dalam kadar tertentu. (ti)

BAHAYA LATEN KORUPSI

MEMINJAM teori yang dibangun penasihat Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana, bahwa ada empat episentrum korupsi: Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga.
Teori ini sejalan dengan wacana yang dikembangkan Bapak Reformasi Amien Rais yang mengatakan pemberantasan korupsi harus dimulai dari Istana.
Keempat episentrum korupsi tersebut hingga kini belum terjamah secara memadai oleh proses penegakkan hukum, kendati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun. Padahal di keempat episentrum korupsi tersebutlah sebenarnya wibawa penegak hukum bisa dibangun dan ditegakkan.
Melihat kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja mengangkat Denny Indrayana, boleh jadi sebuah pesan keras kepada para koruptor, yakni upaya penegakkan hukum segera dibidikkan pada empat episentrum korupsi tersebut.
Itulah bahasa tubuh yang bisa dibaca mengingat korupsi di Tanah Air sudah menjadi bahaya laten yang rumit dan melibatkan banyak stake holder bangsa ini. Artinya, korupsi boleh jadi akan menjadi komoditas politik paling mujarab diujung-ujung pemerintahan SBY. Seberapa efektifkah?

Dagelan korupsi

Jika mengamati langkah-langkah berani dan cerdas dari KPK dan Kejaksaan Agung dalam setahun terakhir, paling tidak sudah berhasil menangkap sejumlah pejabat petinggi yang sebelumnya tidak pernah tersentuh.
Di Bank Indonesia saja sudah ada mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Pimpinan BI Surabaya Rusli Simanjuntak, dan Direktur Direktorat Hukum BI Oey Hoey Tiong. Mereka ditahan terkait aliran dana BI ke DPR sebesar Rp100 miliar, menyusul nama-nama besar itu kemungkinan lanjutannya adalah Bun Bunan Hutapea, Aulia Pohan, Anwar Nasution dan lainnya.
Di tubuh Polri, bahkan mantan Kapolri Rusdiharjo juga ditahan dengan tuduhan melakukan pungutan ganda pada WNI saat beliau menjadi Duta Besar RI untuk Malaysia. Di tubuh TNI, ada mantan Mendagri Hari Sabarno yang sedang menjalani proses hukum.
Di Kejaksaan Agung, Jaksa Urip Tri Gunawan malah telah divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakpus. Jauh lebih berat dari penyogoknya Artalyta Suryani yang hanya dikenakan vonis 5 tahun penjara. Vonis ini membuka peluang bagi KPK untuk menghidupkan kembali kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang telah dinyatakan tidak ada unsur yang melanggar pidana korupsi oleh mantan Jam Pidsus Kemas Yahya Rahman.
Di sejumlah BUMN para pucuk pimpinannya sudah mendekam di penjara, seperti mantan Dirut Jamsostek H. Junaidi, mantan dirut Bank Mandiri ECW Neloe, dan lainnya.
Belum lagi sejumlah mantan menteri yang ditahan lantaran dituding korupsi, seperti mantan Menteri Agama Said Agil Munawar, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, mantan Kepala BKPM Theo Toemion, dan lainnya.
Yang paling mencolok memang dagelan korupsi yang melibatkan anggota dewan mulai dari Al Amin Nur Nasution (PPP) dan Sarjan Thaher (Partai Demokrat) dalam kasus alih fungsi hutan di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan. Dalam kasus ini KPK juga tengah intensif memeriksa Ganjar Pranowo (PDIP) dan Sujud Sirajuddin (PAN).
Disamping juga anggota dewan Hamka Yandhu dan Wakil Gubernur Jambi Antony Zeidra Abidin (Partai Golkar), Bulyan Royan (PBR), dan sejumlah nama lain sedang dalam proses.
Termasuk pengakuan politisi PDIP Agus Condro yang menerima dana sebesar Rp500 miliar, dana itu untuk memuluskan Miranda Swaray Goeltom pada pencalonannnya sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Jika kasus ini terkuak paling tidak bisa melibatkan 11 politisi PDIP lainnya yang sejauh ini mereka membantah.

Korupsi BLBI

Masalah BLBI jika dimasukkan dalam empat episentrum gempa sebenarnya masuk dalam episentrum Pengusaha Naga. Karena pada hakikatnya dari dana BLBI sebesar Rp144,54 triliun ada yang genuine sebesar Rp59,70 triliun dan ada yang non genuine sebesar Rp84,84 triliun.
Sejauh ini ada tujuh hasil audit yang menggambarkan bagaimana BLBI dan sejauh mana penyikapan pemerintah dalam 10 tahun terakhir atas hasil audit tersebut. Ketujuh hasil audit itu adalah: BPK, BPKP, Lehman Brothers, KPMG, PWC, CFSB, Bahana dan Danareksa.
Anehnya dalam proses penyelesaian aset (asset settlement) para pejabat yang berwenang waktu itu mengesampingkan hasil audit BPK dan BPKP. Mereka lebih mengacu pada hasil audit lainnya yang nota bene merugikan negara dan menguntungkan para konglomerat.
Begitu juga dalam proses hukum oleh Kejaksaan Agung, dalam prosesnya selalu mengacu pada hasil audit selain BPK dan BPKP. Ada apakah dibalik kebijakan yang pro konglomerat tersebut?
Untung saja meletus kasus aliran dana BI ke DPR sebesar Rp100 miliar dan kasus upaya sogok Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$660 ribu. Ini adalah ekor dari masalah BLBI, boleh jadi jika masalah BLBI ditekuni maka paling tidak akan melibatkan proses hukum atas 100 pejabat BI dan 203 pejabat 48 bank penerima BLBI.
Perjalanan proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK seolah mengarah pada pembenaran hasil audit BPK dan BPKP yang selama 10 tahun ini disimpan rapih di laci-laci kepentingan parpol, kepentingan pelacur hukum dan kepentingan birokrat yang kerap menjual diri.
Kapan ya proses hukum ini akan berlangsung? Atau menunggu korupsi menjadi bahaya laten yang tak pernah diselesaikan?(a)

Jumat, 19 Desember 2008

PADAGANG PASAR BOGOR DIPUNGLI

RATUSAN pedagang di Pasar Bogor Kota Bogor resah saat akan memperpanjang kartu kuning (KK) sebagai bukti pedagang legal di pasar itu dikenakan pungutan liar (pungli) berkisar Rp 350.000 hingga Rp 500.000.
Padahal, berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2006 biaya perpanjangan KK hanya mencapai Rp 50.000.
Sejumlah pedagang di Pasar Bogor kepada SP, Kamis (18/12) siang mengatakan, ratusan pedagang Pasar Bogor yang umumnya memiliki kartu kuning sudah habis masa berlakunya sejak tahun 2005 hingga Desember 2008.
Namun saat akan memperpanjang kartu kuning ke unit pasar setempat, para pedagang merasa kaget karena biaya perpanjangan kartu kuning ditetapkan Rp 350.000 sampai Rp 500.000 yang diminta oknum petugas unit Pasar Bogor.
Sebagian pedagang memutuskan batal untuk memperpanjang kartu kuning. Sebagian pedagang lainnya berniat memperpanjang kepada oknum petugas pasar tersebut, dengan catatan petugas pasar itu memberikan kuitansi tanda bukti pembayaran. Tetapi permintaan kuitansi itu pun ditolak oknum petugas pasar.
"Pada prinsipnya, kami mau membayar biaya perpanjangan kartu kuning itu, kalau memang dikenakan biaya sampai Rp 500.000. Tetapi kalau lihat Perda Tahun 2006 tentang biaya perpanjangan kartu itu hanya dikenakan biaya relatif murah Rp 50.000. Lantas sampai biaya setengah juta kenapa bisa begitu?", protes Wenas salah seorang pedagang Pasar Bogor.
Hal senada dikatakan Sambudi, yang juga mempertanyakan biaya perpanjangan kartu kuning yang sangat mahal. Kalau masih dipungut mahal sampai setengah juta rupiah, kami mau mengadukan ke dewan dan instansi terkait," tandas Sambudi.
Juru bicara Pemda Kota Bogor, Yus Herdiyus menanggapi keluhan para pedagang Pasar Bogor menyarankan agar membuat laporan tertulis yang ditujukan ke Wali Kota Bogor Drs Diani Budiarto serta tembusan pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor.
"Ini ulah oknum yang memungut biaya tinggi hanya untuk mengurus perpanjangan kartu kuning. Untuk efek jera supaya oknum itu dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku," katanya. (sp)

CALO TIKET BERGENTAYANGAN DI BANDARA

SIAPA bilang Bandara Soekarno Hatta bebas dari praktek percaloan tiket. Buktinya, menjelang Hari Natal dan Tahun Baru, calo tiket pesawat untuk penerbangan domestik banyak bergentayangan di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng.
Jumlah mereka puluhan orang, intonasi suaranya khas dari suku yang ada di Sumatera. Berpakaian rapih, bersepatu, menggunakan telepon genggam, sambil memegang tiket di tangan. Bahkan ada yang pura-pura bawa tas segala, yang asumsi masyarakat mau berpergian. Mereka tampaknya pandai merayu calon penumpang yang belum kebagian tiket, sambil berpura-pura berkomunikasi dengan petugas bandara yang menangani urusan keberangkatan pesawat, seakan-akan `seat` penumpang sudah penuh, padahal sesungguhnya masih ada.
Tiket yang ditawarkan kepada calon penumpang ke berbagai jurusan penerbangan bervariasi, tergantung negosiasi kedua pihak yang dilakukan secara bisik-bisik.
Para calo tiket ini pandai memilih calon penumpang sebagai sasarannya, terutama wajah-wajah baru yang kelihatan bingung mencari tiket di bandara tersebut.
Sebagai contoh, sepasang suami istri calon penumpang tujuan Batam, yang nampak tergesa-gesa mencari tiket langsung ditawari tiket pesawat dengan harga 1 juta 30 ribu rupiah, padahal harga resmi untuk penerbangan Jakarta-Batam paling tinggi 750 ribu rupiah/penumpang.
Begitu juga dengan rayuan para calo tiket ke calon penumpang jurusan Kawasan Timur Indonesia (KTI), harga yang ditawarkan para calo umumnya cukup tinggi. Korban dari calo tiket tersebut diyakini cukup banyak tiap hari, terutama mereka yang baru pertama bepergian dengan pesawat.
Pada calo itu diduga bekerjasama dengan "orang dalam", terutama dengan petugas keamanan bandara internasional tersebut. Buktianya ada beberapa petugas Satpam, pengontrol karcis, dan penjaga pintu masuk lagaknya gak peduli dengan keberadaan para calo tiket. Siapa yang mau peduli memberantas? (a)

Kamis, 18 Desember 2008

2008, KORUPTOR MAKIN TERJEPIT


TAHUN 2008 boleh dikatakan tahunnya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kinerja lembaga penegak hukum independen, dalam memberantas korupsi selama 2008 jauh lebih menonjol dibanding lembaga penegak hukum lainnya.
Tak urung, kritik dan pujian silih berganti mengemuka seiring gencarnya KPK menyeret para pejabat penting negeri ini. Mulai bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, mantan duta besar (dubes), mantan menteri, rekanan pemerintah daerah dan berbagai departemen hingga pejabat negara di lingkungan departemen maupun nondepartemen, bahkan besan orang nomor satu di Republik ini, tak luput dijadikan sasaran pemberantasan korupsi KPK. Boleh dikatakan, tahun 2008, koruptor makin terjepit akibat sepak terjang KPK memberantas korupsi.
Banyak kalangan menilai kinerja lembaga super body dalam pemberantasan korupsi perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan untuk tahun-tahun yang akan datang.Namun demikian, tidak sedikit cibiran atas kinerja KPK dengan sejumlah penilaian.
Ada yang menuding KPK hanya terfokus pada kasus-kasus korupsi berskala kecil, kasus korupsi yang mudah pembuktiannya dan tidak sedikit yang mengkritik soal tidak bernyalinya lembaga itu untuk menyentuh kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah terbukti gagal
tatkala ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Padahal, penanganan kasus BLBI merupakan entry point bagi KPK untuk menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga pemberantas korupsi yang independen. Apalagi, kasus yang merugikan
keuangan negara bernilai ratusan triliun rupiah itu banyak melibatkan pejabat negara dan pengusaha yang kini justru lebih banyak ngendon di negara lain.
Anggota Komisi III DPR, Lukman Hakim Syaifuddin, menyatakan, menonjolnya pemberantasan korupsi oleh KPK merupakan sebuah peringatan bagi para pejabat di Indonesia agar tidak lagi "bermain-main" dan menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya dirinya sendiri. "Jangankan pejabat biasa, yang dekat lingkungan Istana pun, kini bukan lagi menjadi halangan bagi KPK untuk mengusutnya jika terbukti melakukan korupsi," ujar politisi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Peneliti hukum Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, sepakat jika dikatakan kinerja KPK selama tahun ini cukup menonjol, terutama jika dilihat dari jumlah penanganan kasus korupsi.Keberanian KPK menetapkan Aulia Pohan sebagai tersangka kasus aliran dana BI diapresiasi Febri sebagai gebrakan luar biasa.
Tindakan KPK menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga independen yang sulit diintervensi kekuasaan.Pandangan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar berbeda, jika metode yang diambil bukanlah compare antara Kejaksaan Agung dengan KPK, namun antara kejaksaan dengan harapan masyarakat, atau KPK dengan harapan masyarakat, kinerja kedua institusi itu masih jauh dari harapan. Ibaratnya seperti lari di tempat, seakan lari-lari berkeringat-basah, capai, tapi tidak bergerak. Korupsi tetap menggejala, menggeliat, dan jumlahnya tetap tinggi.
"KPK lebih unggul dari kejaksaan karena model penegakannya lebih kuat. Paling tidak kalau kita bicara tentang rata-rata kemampuan KPK menentukan penuntutan perkara korupsi. KPK rata-rata mampu menuntut kasus korupsi dengan tuntutan 4-5 tahun ke atas, sedangkan kejaksaan hanya rata-rata menuntut 1-2 tahun. Sangat rendah," katanya.
Terlepas dari semua keberhasilan itu, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, menggarisbawahi keberhasilan KPK tak bisa diakui sebagai kinerja eksekutif, karena KPK merupakan badan yang berdiri sendiri.Tetapi, ada fakta yang menarik yang dikemukakan Zainal Arifin.
Dia mengakui semakin banyak perkara korupsi terungkap, tapi sangat sedikit yang tuntas. Dicontohkan kasus aliran dana BI yang sudah diusut pembagian uang Rp 31,5 miliar ke legislatif, tetapi menyangkut bagi-bagi "angpao" Rp 68,5 miliar ke aparat hukum sama sekali tidak disentuh.Saldi Isra juga mengamini hal itu. "Orang-orang DPR yang menerima uang itu hanya beberapa orang saja diseret ke pengadilan. Lalu ke mana yang lain yang jumlahnya mencapai 52 orang?," kata Saldi.
Lukman juga mengingatkan KPK agar menyadari masih banyak kasus-kasus korupsi berskala besar yang hingga kini belum tersentuh, termasuk kasus BLBI yang jelas-jelas telah terjadi persekongkolan di kejaksaan.
Febri menyoroti penanganan KPK atas kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh makelar kasus Artalyta Suryani seakan terhenti. Padahal, dalam fakta persidangan sering muncul nama Kemas Yahya Rachman (mantan Jampidsus), Wisnu Subroto (Jamintel), M Salim (mantan Direktur Penyidikan), dan mantan Jamdatun Untung Udji Santoso. "Artinya, selama ini KPK hanya menyeret para pelaku lapangan. Sementara aktor intelektual hingga kini belum disentuh," ucapnya.
Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menilai, komitmen dan arah pemberantasan korupsi kita masih belum jelas. Meskipun dari sisi aksi, khususnya penindakan para pelaku tindak pidana korupsi, terlihat gencar dilakukan baik oleh KPK maupun Kejaksaan Agung. Namun, hal itu masih dilakukan secara sporadis dan cenderung memilih kasus-kasus yang mudah pembuktiannya. (sk)

PUNGLI DI JAKARTA TIMUR MENGGILA


PANJANGNYA birokrasi untuk mendapat pelayanan di Kantor Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur, hingga kini masih dikeluhkan warga. Setiap pelayanan yang diberikan kepada warga, wajib memberikan uang pelicin alias pungutan liar (pungli)."Untuk pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), pengurusan sertifikat tanah hingga mengurus kartu tanda penduduk (KTP), masih terjadi pungutan liar hingga warga terpaksa mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah," kata Yunus, warga Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.Keluhan ini, merupakan salah satu dari sekian keluh-kesah yang disampaikan warga saat dialog aspirasi DPRD yang diwakili Komisi B dan Komisi D di Kantor Walikota Jaktim, Rabu (17/12). Dialog dibuka Wakil Walikota Jaktim Terman Siregar didampingi Sekodya Arifin dan dihadiri Dewan Kelurahan (Dekel), Dewan Kota (Dekot) serta tokoh masyarakat.Amiruddin, anggota Dekel Rambutan, mengungkapkan untuk pengurus izin mendirikan bangunan (IMB), yang seharusnya hanya beberapa hari, bisa terjadi hingga berminggu-minggu. "Birokrasinya panjang, juga mesti bayar uang kepada para oknum yang sengaja memanfaatkan warga yang tidak paham soal pengurusan IMB," katanya.Belum lagi jika mengurus sertipikat tanah di Kantor Pertanahan (BPN), bisa sampai berbulan-bulan. "Soal pungutannya yang nggak tahan (punglinya menggila), pantes saja banyak tanah warga yang masih girik karena repot ngurus sertipikat," lanjut Amiruddin.Anggota Komisi E, Perdata Tambunan mengakui masih panjangnya birokrasi di tubuh Pemda DKI. Dan seringkali permasalahan yang terjadi di tingkat kotamadya, tidak terselesaikan. (tbt)

Selasa, 16 Desember 2008

MENBUDPAR BELUM LAPORKAN HADIAH PERNIKAHAN ANAKNYA

RESEPSI pernikahan anak Jero Wacik yang digelar di Hotel Rizt Carlton, Jakarta pada 6 Desember 2008, hingga Rabu (17/12) belum dilaporkan secara lengkap, transparan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Karena itu, KPK mendesak agar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik segera melaporkan penerimaan hadiah dalam pernikahan anaknya, Sagita Sintha Pratiwi dengan Diponegoro. "Kami sudah mengirimkan pemberitahuan, namun kok belum ada laporan,," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi di Jakarta, Selasa malam.
Pesta pernikahan meriah, glamour anak Jero Wacik digelar di Hotel Rizt Carlton, Jakarta pada 6 Desember 2008 itu, dihadiri sejumlah pejabat dari pusat dan daerah. Juga kalangan industri pariwisata di Jakarta.
Johan mengatakan, pemberitahuan itu untuk mengingatkan Jero Wacik agar memberitahukan penerimaan hadiah ketika menggelar pesta pernikahan anaknya.
KPK memiliki kewenangan untuk meneliti jenis hadiah yang diterima dalam pesta itu. Penelitian itu untuk menentukan apakah hadiah-hadiah itu termasuk terkait dengan jabatan Jero Wacik (gratifikasi) atau tidak.
Komisi akan mengembalikan hadiah yang tidak termasuk dalam pengertian gratifikasi. Sedangkan hadiah yang termasuk gratifikasi akan diserahkan kepada negara.
Johan mengatakan, seorang penyelenggara harus menyampaikan penerimaan dalam jumlah tertentu dalam kurun waktu 30 hari setelah menerima.
Sebelumnya KPK juga melakukan penelitian serupa dalam pernikahan anak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. (a)

KAPAN KORUPTOR DIEKSEKUSI MATI?????


EKSEKUSI mati di depan regu tembak memang sudah diterapkan bagi pelaku teroris, pengedar narkoba, pembunuh sadis, perampok bengis. Eksekusi mati juga dijalankan polisi di jalanan, lantaran sudah geregetan dengan ulah penjahat jalanan, perampok nasabah bank, penjahat yang ketangkap basah, residivis kambuhan, teroris bahkan pengedar narkoba pun jadi sasaran tembak.
Bahkan, eksekusi mati secara tidak langsung dilakukan di kantor-kantor polisi setelah penjahat, residivis, bromocorah, preman, gali, korak, setan gundul sampai teroris mengalami penyiksaan tingkat tinggi dengan modus mencari keterangan dan barang bukti. Setelah tak tahan disiksa akhirnya mati, perkaranya pun selesai.
Pendek kata, eksekusi ditegakan bila sudah dianggap meresahkan masyarakat, meresahkan petugas kepolisian lantaran kerjaan makin menumpuk. Lalu bagaimana dengan koruptor, yang notabene juga meresahkan masyarakat plus merugikan perekonomian negara, plus merusak citra republik Indonesia di mata dunia. Jawabnya pasti nanti dulu. Dan bermacam-macam alasan yang kadang tak masuk akal sehat.
Alasan klasik: Dia mantan pejabat tinggi, lah. Dia seorang bangkir, lah. Dia konglomerat, lah. Dia pernah berjasa membuat Undang-Undang Korupsi, lah. Dia memiliki segudang tanda jasa, lah. Dia pengurus Olahraga, lah. Dia warga keturunan, lah. Dia wakil rakyat yang terhormat, lah. Juga, sksekusi mata melanggar HAM, lah. Serta serderat lah, lah, lah lainnya. Jadi eksekusi mati bagi koruptor? ya nanti dulu, lah. Sampai kapan? Wawahualam, lah.
Korupsi, semua orang sudah tahu dan mengakui sebagai kejahatan luar biasa yang dapat menyengsarakan publik. Uang negara dicaplok seenaknya. Tujuan niat jahat itu, jelas untuk memperoleh kekayaan dengan giat, cepat, singkat, pokoknya dapat.
Ada sepuluh faktor yang menyebabkan pejabat negara, bangkir, pengusaha, konglomerat punya nyali untuk korupsi. Bahkan, pejabat, bangkir dan pengusaha tidak takut pada ancaman pidana yang berat, bahkan pidana mati pun dianggap tidak mungkin ada saat melakukan korupsi. Faktor pertama adalah kecemasan akan kesejahteraan masa depan karena melihat realitas sosial yang dihadapi. Kedua, tingginya kebutuhan ketika menjabat satu jabatan juga mahalnya menopang atribut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Ketiga, krisis integritas moral dan spiritualitas.
Keempat, tergoda kekuasaan diskresi alias kekuasaan untuk menggunakan kewenangan
berdasarkan kreativias pejabat yang bersangkutan. Kelima, pejabat tidak melihat langsung akibat perbuatannya sendiri kepada korban atau rakyat. Keenam, iman dan ketaqwaan saat berbuat korupsi hilang karena kalah dengan nafsu keserakahannya.
Ketujuh, tidak mikirin nasib masa depan dan beban psikologis yang menimpa istri, anak, mertua, kakek nenek, keponakan, simpanan, teman selingkuh dan garis keturunannya. Kedelapan, otaknya hanya do it, duit, do it. Kesembilan, pengaruh lingkungan kerja. Kesepuluh, rai gedek dan gak duwe udel, kata orang Suroboyo (mukanya tebal dan gak punya pusar).
Jika kesepuluh faktor ini terakumulasi, maka pejabat, bangkir, konglomerat itu melakukan korupsi dan cenderung tidak takut beratnya sanksi hukum baginya. Dan umumnya sang koruptor tak takut akan adanya hukuman mati, karena memang dianggap selama ini belum ada koruptor yang dihukum mati, dieksekusi mati, ditembak mati sampai disiksa sampai mati pun tak pernah terjadi.
Jadi, apa hukum kita tak mengatur hukuman mati bagi korupsi? Sebenarnya, cantolan hukum pidana mati untuk koruptor, sudah tertuang dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Pasal 2 ayat (2)UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dan, ada sejumlah alasan yang menjadi pertimbangan bahwa pidana mati bisa diterapkan bagi koruptor. Alasan itu adalah yuridis, di mana Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, pidana mati merupakan salah satu jenis hukuman yang masih berlaku dalam sistem peradilan di Indonesia.
Selain itu, pertimbangan hak asasi manusia (HAM), yang secara doktrin menegaskan, terpidana mati dalam delik pembunuhan adalah musuh penegakan HAM karena telah merampas hak hidup orang lain. Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, misalnya. Agar secara remedial HAM itu tetap utuh, harus dikembalikan oleh yang mengambilnya.
Alasan lain adalah masalah moral, kondisi aktual masyarakat, dan persepsi terhadap jenis
kejahatan tertentu. Maksudnya, jika suatu kejahatan dianggap mengancam keamanan nasional, hal itu akan mendorong pemerintah untuk memberikan sanksi yang keras, termasuk hukuman mati.
Karena itu, seharusnya penerapan pidana mati untuk pelaku korupsi bisa dilakukan. Penerapan sanksi pidana yang tajam harus tetap diterapkan secara tegas dan konsisten. Tujuannya untuk memberikan efek jera dan daya tangkal.
Selain itu, undang-undang juga membuktikan pidana mati masih diperlukan dalam menghukum para koruptor yang terbukti di pengadilan. Setiap negara selalu menggunakan pidana mati dalam menghukum kejahatan-kejahatan yang dinilai telah mengganggu keamanan nasional.
Sebagai perbandingan, Cina menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang mengganggu keamanan nasional. koruptor di Cina dihukum dengan sangat keras. pelakunya bisa kena pidana hukuman mati. Ya, mungkin penduduk Cina kan banyak, jika ditembak mati satu pun tak akan rugi. Bagaimana di Indonesia? (endhik)

AKAR KORUPSI ITU DI PARPOL


INDONESIA Corruption Watch (ICW) menyatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dimulai dari lembaga legislatif, yang berdasarkan hasil survei nasional maupun internasional merupakan lembaga terkorup.
Pertanyaan kita, karena lembaga legislatif -- tanpa menutup mata terhadap lembaga lain -- diisi oleh para politisi dari Parpol, bukankah lebih tepat kalau akar masalah korupsi yang menghinggapi legislatif ditelusuri dari kenyataan di partai-partai politik itu sendiri?
Wakil rakyat Burhanuddin Napitupulu menyebutkan dewasa ini terdapat 1.728 orang anggota legislatif, mulai DPRD kabupaten/kota, provinsi hingga pusat yang diduga terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu baru 758 orang anggota DPRD yang menjalani pemeriksaan.
Luar biasa. Angka yang disebutkan Burhanudin itu -- yang juga mengutip data ICW terakhir -- jelas sangat besar. Kalau demikian halnya, bukankah akar persoalan sebenarnya memang ada di partai-partai politik? Ada apa dengan kiprah Parpol dan kaderisasi yang dilakukan selama ini?
Kita patut menduga dan berhipotesis, system rekruting kader dan penempatan calon-calon legislative di tubuh partai-partai politik tentulah juga korup, bahkan mungkin sangat korup. Dan ini tentu tak lepas dari kiprah Parpol di tanah air yang cenderung hanya mendekati rakyat lima tahun sekali.
Sistem rekruting dan penempatan calon-calon legislatif itu dapat kita urut mulai dari awal seseorang ingin menjadi caleg. Bukan tidak mungkin, penentuan seseorang jadi caleg selama ini beraroma permainan uang antara di calon dengan pejabat birokrasi partai yang menentukan. Ini, misalnya, bisa dengan sebutan atau istilah macam-macam. Indikasinya, seringnya muncul protes-protes dari kalangan kader partai itu sendiri terkait pencalonan legislative karena selalu saja muncul ada kader-kader yang tidak berkeringat di partai tiba-tiba saja menjadi caleg.
Itu baru dalam tahap pencalegan, belum lagi soal nomor urut, yang -- sebelum munculnya wacana berdasar suara terbanyak -- konon juga memerlukan uang pelicin yang juga diberikan kepada pejabat birokrasi partai.
Setelah itu, baru masuk ke tahap sosialisasi dan kampanye. Berapa rupiah saat ini seorang caleg harus menyediakan uang untuk bisa tampil berkampanye selama beberapa putaran? Dengan menyediakan 10 ribu kaos oblong saja setiap kampanye, bukankah dalam 7-8 kali kampanye seorang caleg harus menyediakan 70 ribu sampai 80 ribu kaos oblong? Dikalikan dengan Rp10 ribu/satu kaos saja, bukankah angka luar biasa? Itu baru untuk biaya kaos, belum yang lainnya semisal transport dan atribut partai.
Dengan tingkat gaji seorang anggota DPR, apalagi hanya DPRD tingkat I dan II, berapa lama uang yang dikeluarkan saat kampanye itu bisa dikembalikan? Bukankah dapat disimpulkan, system yang ada ''memaksa'' setiap anggota legislatif untuk korupsi?
Saatnya semua parpol mengubah system rekruting dan penempatan caleg serta system kampanyenya. Misalnya, semua biaya kampanye harus ditanggung partai, bukan lagi dibebankan pada kader.
Konsekuensinya, Parpol mengenakan iuran kepada kadernya yang duduk di legislatif yang tentu saja dengan jumlah yang sepantasnya sebanding dengan pendapatannya sebagai seorang anggota legislative. Hal ini juga menuntut Parpol harus betul-betul memprioritaskan kadernya yang sudah banyak berjuang.
Sistem kampanye juga harus sudah diubah, tak perlu lagi secara massal sebagaimana selama ini, dan tak kalah pentingnya, iklan di media tak boleh jor-joran. Ini tentu menuntut komitmen dari semua Parpol Persoalannya kemudian, mungkinkah ini bisa dilakukan jika Parpol di negeri ini hanya bekerja dan mendekati rakyat sekali dalam lima tahun? Mungkinkah ini bisa dilakukan apabila eksistensi Parpol tak ada di hati rakyat sebagaimana selama ini? (tbt)

Selasa, 09 Desember 2008

PERANG TANPA HENTI LAWAN KORUPSI

PERANG terhadap korupsi pada hakikatnya adalah perang sepanjang hayat. Apalagi, memerangi korupsi yang tingkat keganasannya di Republik ini sudah seperti kanker berstadium IV.
Untuk memberantasnya dibutuhkan konsistensi dan stamina super. Negara tidak boleh menyerah. Jika modus korupsi bertambah canggih, negara pun harus mencari upaya baru yang lebih canggih lagi untuk menangkalnya.
Selain itu, negara tidak boleh cepat puas atas apa yang telah dihasilkan.
Memang, adalah fakta bahwa sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa waktu terakhir telah menaikkan citra positif pemberantasan korupsi. Kenaikan citra positif itu dilihat dari membaiknya indeks persepsi korupsi 2008 yang dirilis Transparency International baru-baru ini. Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2008 adalah 2,6, atau naik jika dibandingkan dengan indeks pada 2007 yang mencapai 2,3.
Harus diakui telah terjadi lompatan besar belakangan ini. Apa yang dicapai selama sembilan tahun (1998-2007), sama dengan yang dicapai dalam setahun terakhir (2007-2008). Sebagai gambaran, pada awal reformasi (1998) indeks persepsi korupsi 2,0 dan naik beringsut-ingsut mencapai 2,3 pada 2007. Sekarang (2008) mencapai 2,6. Itu berarti, jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu, saat tekad reformasi nasional mulai dicanangkan, perubahan secara signifikan baru terjadi setahun terakhir.
Secara kuantitatif dan kualitatif memang layak dicatat prestasi yang ditorehkan. Pemberantasan korupsi menjangkau anggota DPR, anggota KPPU, mantan dirjen, dan mengusut tuntas kasus dana Bank Indonesia tanpa pandang bulu. KPK telah menahan Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejumlah survei yang dilakukan Litbang Media Group secara berkala juga menunjukkan adanya peningkatan kepuasan publik atas kinerja KPK setelah dikomandani Antasari Azhar. Hal itu tidak lepas dari kiprah KPK yang mendapat simpati publik berkat liputan media massa yang intens.
Namun, korupsi tidak benar-benar mati. Ia seperti sedang rehat untuk menyusun siasat. Para pelaku korupsi, atau yang berniat melakukan korupsi, tidak benar-benar jera.
Mereka akan memanfaatkan setiap celah untuk melawan. Misalnya, berupaya memereteli kewenangan KPK. Atau, mengamputasi lembaga tersebut dengan cara mengulur-ulur waktu pengisian formasi penyidik KPK yang berkurang ratusan orang karena habis masa kontraknya. Juga, sengaja membuat tidak jelas nasib Pengadilan Tipikor.
Di berbagai lini, kita juga masih mendapati maraknya pungutan liar dari 'orang-orang berseragam'. Sebuah kondisi yang menunjukkan masih perlunya kerja keras untuk melahirkan efek jera sehingga pemerintahan yang bersih dapat benar-benar ditegakkan.
Dengan mengingat bahaya korupsi bersifat sistemis, negara juga harus melawannya secara sistemis. Kewenangan lembaga pemberantas korupsi harus tetap diperkuat, di antaranya dengan tetap mempertahankan kewenangan KPK menyadap telepon.
Demikianlah, Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati kemarin harus dijadikan tonggak penting memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Publik sudah lama menanti negeri ini bebas korupsi. (mi)